Ketika Waktu Jumat tiba

 

Masih suara mengaji dari speaker besar di puncak menara mesjid dan orang-orang (termasuk diriku) berbondong-bondong memasuki mesjid besar itu.

Kulihat cukup banyak yang ‘berbusana muslim’, sementara diriku sendiri – apa boleh buat – masih dengan seragam kerjaku. Bau harum nan wangi menyeruak (mungkin lebih bagus : semerbak) masuk langsung ke kalbu, membuat diri terasa tenteram. Sebagian mereka ada yang sempat mandi sementara sebagian lainnya (termasuk diriku yang memang waktunya mepet, maklum orang kantoran) mencukupkan dengan berwudhu.

Adzan pertama berkumandang yang dilanjutkan dengan sebagian orang melakukan shalat sunnah. Lalu naiklah sang Khatib ke atas mimbar dan berkumandanglah adzan kedua.

Seperti mesjid dimanapun juga, siraman rohani dari sang khatib hanya ada dua kategori, menarik atau tidak menarik yang tentu saja sangat subyektif tergantung dari masing-masing insan pendengarnya. Tapi bukan itu yang akan dibahas ditulisan kali ini.

Dalam tiap shalat Jumat, fenomena yang kulihat dimana-mana cenderung sama, ada yang terkantuk-kantuk, ada yang “kelihatannya” memperhatikan, dan ada yang “memang“ memberikan perhatian sepenuhnya.

Pernah kutulis bahwa bagiku, salah satu dari banyak kriteria tentang shalat yang khusyu’ adalah ketika seseorang itu menguap. Jika anda menguap ketika menyampaikan pidato pertanggung jawaban anda di depan majelis tinggi, itu adalah hal yang belum pernah saya lihat. Jika kita menguap ketika berhadapan dengan Sang Maha Agung Pencipta planet, asteroid, galaxy dan seluruh jagad semesta termasuk semut yang merayap di bawah keyboard, pantaskah disebut khusyu’? (tapi ini khan sekedar opini saya sendiri).

Jadi, terkantuk-kantuk saat mendengarkan khutbah jumat, semestinya menjadi hal yang luar biasa aneh. Coba fikir, sejak dirumah sudah mandi. Baju muslim plus minyak wangi. Tapi ketika khutbah menjelang lantas terkantuk-kantuk. Lalu kepada siapa dia bersiap-siap sedemikian rupa? Lalu bagaimana dengan yang tertidur? Bukankah tidur diwaktu khutbah katanya boleh?

Terlepas dari segala dalil yang dikemukakan, hemat saya jika seseorang sudah tidak mampu menghormati Tuhannya ketika sebelum shalat, maka tipis kemungkinan bahwa orang itu bakal menghormati (baca : khusyu’) ketika shalat.

Maka mampukah kita menjadi orang-orang yang bisa dibanggakan Tuhan, seperti ketika DIA membanggakan Adam A.S di depan makhluk-Nya?

Wassalam,

Penulis

Hasil dari ESQ

Sekian bulan sudah berlalu sejak aku mengikuti training hebat ini. Dan terasa makin pudar dari hati. Maka aku menulis ini, untuk mengingatkanku lagi dan mungkin pembaca yang budiman yang juga merasakan hal yang sama. Masih kuingat hari itu, hari ketiga dan terakhir masa training. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk 2 hal :

  1. Khusyu’ dalam shalat
  2. Mengaji (kembali) tiap malam jumat setelah maghrib

Hari pertama aku shalat zuhur berjamaah disebuah mesjid. Penyadaran muncul ketika azan dikumandangkan. Siang itu begitu panas dan aku berjalan dari kantor menuju mesjid yang memang tidak terlalu jauh. Azan itu begitu jelas terdengar oleh semua. Aku perhatikan dijalan yang ramai itu dan aku membatin, “tentulah semua mendengar “u’ndangan Allah’ ini. Tapi memang surga itu tidak murah. Maka bersyukurlah aku, tergerak atas kekuatan-Mu dapat memenuhi undangan itu. Dari begitu banyak manusia yang lalu lalang, dengan keindahan maupun kesederhanaan ‘duniawi’-nya, aku ‘dipilih’ utk menghadiri undangan-Nya.

Ketika shalat, aku perhatikan mayoritas adalah ‘kaum tua’. Sang Imam membaca begitu cepat (menurutku) sehingga aku merasa begitu tidak nyaman. Batinku, “mestinya, tidak begini kita menghormat pada Tuhan”

Malamnya, aku menangis dalam shalat. Ketika menyadari arti “innaa shalaati wa nusuki…dst” yang terjemah bebasku adalah : sesungguhnya shalatku ini, dan ibadah ini, dan hidup ini dan mati nanti semua bagi Allah, Rob semesta (aku bayangkan betapa planet dan galaxi tersebar begitu luas).

Lalu ketika menyadari arti “laa syarikalahuu..wabizaalika umirtu wa anaa minal muslimiin”, akupun menangis. Inikah aku, menyatakan diriku sebagai seorang muslim? Yang tidak juga becus menghormati Tuhan dalam shalat-shalatku. Padahal shalat inilah yang pertama dihisab nanti. Padahal aku sedang berhadap-hadap dengan menciptakanku. Betapa diri ini tidak memiliki rasa hormat kepada-Nya. Aku menangis dan menangis…

Ketika subuh tiba, aku ke mesjid (yang ini di dekat rumah sekitar 300m). Lagi-lagi didominasi dengan ‘kaum tua’ dan lagi-lagi dengan bacaan sang Imam yang terasa bagiku begitu cepat. Dalam batinku berkata, “bagaimana bisa ketika kita mengucap “robbighfirlii…warhamniii..dst”, yang itu semua adalah doa, yang itu semua adalah permintaan, tapi dibaca merepet cepat dan langsung sujud lagi. Itukah namanya penghormatan kepada Tuhan?

Maka ketika aku keluar dari masjid, aku menengok ke atas, ke langit gelap yang masih ditebari bintang kemintang lalu meleleh air mata ini. “Tuhan, adakah Kau terima shalatku yang baru saja tadi?” (di waktu berjamaah dalam mesjid air mataku tidak bisa keluar, entah kenapa)

Tapi pada hari ketiga shalat subuh, barulah kusadari, bahwa para jamaah, sang muadzin dan sang Imam mereka adalah adalah mahluk yang mulia. Ketika mereka terpilih untuk bisa konsisten selalu hadir disetiap subuh sementara sebagian lainnya (termasuk aku) hanya “datang dan pergi” atau bahkan meremehkan dengan menunda shalatnya hingga terang tiba.

Sebulan kemudian, aku makin “longgar”. Kerak dihati kembali tebal. Kini sulit sekali bagiku untuk bisa menangis dalam shalat-shalatku. Adakah DIA meninggalkanku? Ataukah aku yang begitu bodoh menjauhi-Nya? Kurasakan, semakin banyak nikmat diberikan, justru semakin sulit untuk bersyukur. Makin tenggelam dalam ‘kedzaliman diri’. Padahal Tuhan menegaskan (mohon maaf aku lupa ayat-nya) : “jika kita bersukur maka Allah menambahkan nikmat, dan jika kufur maka azab Allah sangatlah pedih”

Jelas aku tidak sedang menanti azab (siapa sih yang suka diazab). Tapi yang tidak kumengerti, mengapa aku kehilangan tangis dalam shalat dan doa? Padahal yang kubaca adalah sama dengan yang kemarin. Ada yang bilang bahwa khusyu’ itu ‘hadiah’. Kemarin aku merasakan begitu nikmat dan lezat saat bisa menangis dihadapan-Nya. Namun entah kenapa kini kenikmatan itu menghilang begitu saja.

“Ya Allah Tuhanku yang baik, janganlah Kau ambil kembali hidayah yang telah pernah Kau berikan. Maafkan daku karena itu pasti akibat kebodohanku sendiri. Kumohon penuh kerendahan hati, ijinkan daku untuk mampu menghormati-Mu, menjaga khusyu’-ku, tuma’ninah dan istiqomah. Seperti Musa A.S pernah memohon, demikian kini aku memohon hal yang sama, agar berkenan kiranya Engkau memberikan rahmat dari sisi-Mu kepadaku. Agar mampu diri ini menapak di atas jalan shirath mustaqim itu. Jalan yang penuh nikmat didalamnya. Agar tetap diriku dan keluargaku dalam garis edar-Mu…”

“Robbanaa atinaa fiddunyaa khasanah” : Tuhan yang perkasa, ijinkan daku memperoleh kebaikan di dunia. Tutupi segala kekurangan dan tinggikan derajat kami. Jadikan kami hamba-hamba yang dapat Kau banggakan, sebagaimana Kau membanggakan Adam A.S didepan mahluk-Mu

“Wafil aakhiroti khasanah” : Dan ijinkan kami memperoleh kebaikan di akhirat. Kebaikan di alam kubur, diamankan di padang mahsyar, dan mencicipi kelezatan jannaatun na’im.

“Wa qinaa adzaaban naar” : dan selamatkan kami, jauhkan kami dari azab yang membakar


Wassalam,

Penulis

ESQ yang luar biasa

Waktu itu saya tiba-tiba diminta ikut training ESQ. Bos saya tidak bisa ikut, entah kenapa. Tentu saja saya menolak. Kalau Cuma training di sebuah hotel yang relatif dekat rumah, itu sama sekali tidak menarik. Lagipula, siapa sih yang yang butuh training pengembangan diri? Dari dulu juga sudah tahu. Buku semacam itu juga sudah banyak saya baca dan isinya “begitu-begitu” juga. Saya baru tertarik jika training – training apa saja – jika diadakan diluar kota. Jadi bisa sekalian mengajak keluarga berlibur (seperti yang biasa selama ini terjadi). Diperparah lagi waktu trainingnya adalah jumat, sabtu dan minggu. Apa tidak tahu, kalau hari minggu itu adalah waktu berkumpul dengan keluarga?

Begitulah, akhirnya saya dengan “rasa terpaksa” dan “pesimis luar biasa” datang ke tempat training dengan naik sepeda (hotelnya dekat rumah). Namanya “training ESQ Professional angkatan ke-2”. Di kota kabupaten yang boleh jadi anda belum dengar namanya.

Disana masih pagi, tapi saya lihat sudah begitu banyak mobil “pembesar” parkir dengan rapi. Saya tambah malas. Lalu mendaftar dan melihat sekilas ruangan besar yang sudah disulap menjadi berkarpet. “Lho, trainingnya duduk dilantai?”, saya makin tambah tidak suka. Satu-satunya yang menarik adalah kumpulan sound system dan layar lebar (lumayanlah, sekali-kali lihat bioskop yang nota bene tidak ada di kota sini. Apalagi memang dasarnya saya hobby nonton film). Dan training-pun dimulai…

Hari pertama tidak terlalu berkesan apa-apa. Kalau “Cuma” teori seperti itu, saya dari dulu sudah tahu.

Hari kedua, saya katakan ke teman saya (kami berenam dikirim dari kantor), “rasanya air mata ini habis sudah” dan kami kembali saling berpelukan.

Hari ketiga (hari terakhir) saat istirahat akhirnya saya berkata kepada teman saya lagi, “ternyata, air mata ini tak akan pernah ada habisnya. Sungguh luar biasa…”

Setiba di kantor pada senin pagi, saya sempatkan bertemu dengan orang yang “memaksa” saya pergi training. Saya katakan, “terima kasih sekali saya telah diikutkan traing yang luar biasa ini. Anda mesti ikut juga. Ini sungguh luar biasa.”. Tak cukup dengan itu, saya ajukan presentasi (biasanya saya tidak pernah melakukannya) yang dengan sengaja saya undang pihak HRD dan pejabat teras di kantor saya. Saya sampaikan betapa training ini bagus dan perlu.

Beberapa bulan kemudian diadakan lagi training angkatan ke-3. Semula saya bingung bagaimana cara agar istri saya bisa ikut. Anak saya masih 2 tahun dan pembantu di rumah hanya bekerja 6 jam sehari kemudian pulang. Tapi memang kemudahan akan ada dimanapun juga bila dikehendaki-Nya. Ketika saya ngobrol dengan sesama alumni, maka beliau bercerita bagaimana ia memboking kamar hotel untuk istrinya agar tiap istirahat bisa mampir sebentar agar bisa menyusui anaknya.

Saya tidak perlu booking hotel. Tapi alhamdulillah istri saya bisa ikut setelah pembantu setuju untuk selama 3 hari bekerja hingga istri saya pulang.

Begitulah. ESQ telah memberikan kesadaran penuh pada diri ini, bagaimana mensikapi hidup.

Memangnya apa itu ESQ?

Sejumlah orang yang pernah ikut, memberikan pendapatnya masing-masing. Yang belum ikut dan “sok tahu”, memberikan persepsinya masing-masing.

Saya sendiri sulit menjelaskan, karena khawatir nanti ada hal yang sifatnya royalti yang sebenarnya tidak boleh disebarluaskan tanpa ijin. Namun kepada teman-teman sekeliling, saya menyatakan seperti ini, “jika ingin merasakan bagaimana gunung meledak (ketika nabi Musa ingin melihat Tuhan), atau mendengar gemuruh neraka, maka ikutlah training ini”. Motonya juga “feel the experience” yang saya rasa sangat cocok.

Hikmah yang saya peroleh

Yang paling nyata adalah penyadaran diri saya sendiri. Kini saya makin menghormati Tuhan. Betapa senang ketika bisa menagis dalam shalat dan doa. Namun sekian lama berlalu, rasanya perlu charging kembali.

Berikut sedikit tips agar bisa khusyu’ :

• Saat wudhu, kenanglah sebuah ayat yang menyatakan (kira-kira) : “dari air kami menjadikan segala yang hidup” (mohon maaf saya lupa ayatnya). Dengan demikian kita bisa bersahabat dengan air wudhu kita

• Setelah wudhu, resapi arti doa-nya : Allahummaj ‘alni…dst (arti bebasnya kira-kira : “Ya Allah, semoga Kau terima taubatku, dan semoga Kau sucikan diriku, Semoga Kau masukkan diriku kedalam kelompok hamba yang sholihin”)

• Sebelum shalat, yakinkan : jika nanti kita menguap, pasti kita sedang tidak fokus, tidak khusyu’ dan tidak hormat kepada-Nya.

• Usahakan memahami setiap arti bacaan shalat. Perhatikan misalnya, ketika berdiri setelah ruku’ (sami Allahu liman hamidah : Tuhan mendengar hamba yang memuji-Nya). Adakah kita sedang memuji-Nya? (robbanaa walakal hamd…dst) itu semua memuji Tuhan. Maka pantaskah berdiri dengan hanya sebentar?

Lalu saat duduk diantara dua sujud (robbighfirlii, warhamnii…dst) cobalah memahami setiap patah (pertanyaan menarik : ini semua doa. Mengapa dimulai dengan “Robbighfirlii” :Ya Robbi ampuni daku dan diakhiri dengan “wa’fuannii” : Dan maafkan diriku. Apa beda ampun dan maaf). Dengan demikian, seyogyanya duduk diantara dua sujud disesuaikan jeda waktunya dengan apa yang dibaca.

Lalu ketika Tahiyat, perhatikan pengakuan bahwa segala milik Tuhan (attahiyaatul, mubaarokatsh sholawaatut thoyyibatullillaah). Penghormatan, berkah, kedigjayaan itu semua milik-Nya. Dan kalimat terakhir sebelum salam : “innaka hamiidum majiid”. Hamid dan majid, coba diresapi kedua arti tersebut.

• Ketika selesai shalat, ada bacaan : Allahumma antas salaam…dst. Bacalah perlahan dan resapi maknanya : Wahai Allah, Dikaulah salam.. dari-Mu lah salam dan kembali padamu salam. Maka kumohon dengan serendahnya, berkenan kiranya Dikau menghidupkan daku dalam salam, dan adakah berkenan Dikau mengijinkanku masuk kesurgamu, negeri daarus salaam…dst

• Jika kita shalat di masjid, entah siang atau malam, maka ketika melangkah keluar, cobalah melihat kelangit di atas lalu tanya pada hati sendiri, “wahai, adakah shalat yang barusan ini diterima ?”

ESQ yang saya ikuti, di”piloti” oleh “kapten” Legisan Sugimin. Sungguh luar biasa cara beliau membawakannya. Karena hemat saya, ini tidak hanya materi training tapi juga pembawa-nya merupakan faktor dominan.

Yang paling berkesan adalah ketika burung itu terbang tinggi diantara tebing dan ngarai, dengan iringan musik yang dipilih secara apik. Saya bisa bayangkan diri saya saat ini dengan kedua tangan melebar seperti sayap dan meliuk seperti burung itu, terbanglah jiwa ini…terbang.. menuju kemana? Adakah kita tahu, menuju kemana?

Maka terbangnya jiwa itu akan selalu saya coba resapi disetiap malam-malam sunyi sebelum tidur. Adakah jiwa ini merindukan-Nya?? Tapi mengapa diri ini terasa begitu jauh dari dekap-Nya? Megapa tak ada air mata lagi yang menetes dalam shalat dan doa? Ataukah hanya dalam ESQ yang 3 hari itu? Padahal itulah air yang mampu memadamkan api neraka.

Wassalam,

Penulis

Notes : Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penuturan. Semata-mata hanya ungkapan hati yang mendamba kebaikan


Silahkan klik DISINI utk mengetahui ttg ESQ

SELF CONSCIENCE

Siapa aku?

Semestinyalah setiap diri menanyakan kepada dirinya sendiri, “Siapakah aku?”. Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana namun sungguh mendasar. Dari jawaban itu maka setiap diri kemudian bisa menentukan sikap.Persis sama dengan analogi permainan bola. “Siapa aku?, kamu adalah kiper. Maka dengan begitu dia tau harus melakukan apakah dia. Bagaimana menjadi kiper yg benar dan mumpuni.

Mengapa aku menjadi manusia? Mengapa bukan jadi sebatang pohon atau gunung atau ayam seperti di halaman rumah, atau menjadi cicak di dinding atau batu yang kecil yang teronggok dipinggir jalan dan terabaikan. Atau menjadi awan yang megah diatas, atau menjadi setan atau menjadi malaikat. Mengapa aku menjadi manusia?Ini semua nanti akan berentet kepada pertanyaan yang lebih sering dijumpai, “mengapa aku lahir disini bukan disana, mengapa aku laki-laki bukan perempuan atau sebaliknya. Mengapa aku buta sementara yg lain melihat, atau sebaliknya. Mengapa hidung ini satu dan mata ini dua, mengapa orang tuaku miskin/kaya, mengapa dan mengapa.Tapi sebelumnya mesti dijawab pertanyaan yang pertama, “mengapa aku menjadi manusia?”. Siapakah aku?

Proses penciptaan Manusia

Manusia (katanya) diciptakan dari tanah, sementara malaikat dari cahaya dan setan dari api. Dari apakah cicak atau pohon atau awan?

Disini perlu yang namanya iman. Sesuatu yang tidak bisa terjawab, akan terjawab oleh iman.

Ketika Tuhan mencipta manusia, maka IA membanggakan manusia hasil ciptaannya itu. Ia minta malaikat dan jin sujud kepada manusia. Apakah ketika jin dicipta lantas malaikat diminta sujud juga (atau sebaliknya, karena kita tidak tahu mana yg lebih dulu dicipta, malaikat atau jin). Bagi yang tidak beriman akan capek dengan pencarian jawaban : Apa betul manusia dibuat dari tanah? Mana lebih dulu dicipta, jin atau malaikat? Apakah disuruh sujud juga atau tidak? Bertanya khan ngga’ bayar dan sah-sah saja. Tapi mengapa tidak fokus saja dengan pertanyaan pertama tadi, “Mengapa kita dicipta?”, yang kemudian saya juga malah melanjutkan dengan “mengapa manusia begitu dibanggakan oleh Tuhan?”

Jawabannya semua ada di Al-Quran. Manusia dicipta untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Kata ‘khalifah’ mungkin lebih tepat diartikan sebagai ‘rahmatan lil alamiin’.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah :30)

Khalifah adalah sebuah amanat yang bagaimanapun juga akan dimintai pertanggung jawaban.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. Al-Ahzaab :72)

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS. Al-Qiyaamah : 36)

Ada juga yang mengartikan khalifah sebagai ‘pemimpin’. Boleh jadi itu benar, namun masalahnya pemimpin itu ada yang jelek ada yang baik. Tentu yang dimaksud Tuhan adalah pemimpin yang baik.

Oke, sekarang sudah jelas bahwa predikat manusia adalah ‘khalifah’ dan itu adalah ‘amanat’ (seperti juga kiper yang punya amanat menjaga gawang).Tapi, jika kiper menjaga gawang, manusia tugasnya apa?

Khalifah-nya manusia

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzaariyaat : 56)

Wamaa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun

Ternyata tugasnya Cuma satu : MENGABDI (liya’buduun) kepada Allah.

Adapun yang lain, saling menasehati dengan sabar, beriman, melakukan shalat, puasa, zakat, tidak menghardik anak yatim, mencintai tetangga, saudara seiman, dll itu adalah manifestasi dari kata ‘mengabdi’ tadi.‘Mengabdi’ dasar katanya ‘abdi’ atau hamba sahaya atau budak belian. Pernah punya budak? Yang setahu saya, definisi perbudakan secara murni adalah sungguh-sungguh budak, dalam arti ‘apa-apa sesuai titah tuan-nya’. Sebuah pengabdian tanpa reserve, pengabdian total, abis-abisan…Kata ‘budak’ konotasi-nya cenderung negatif, semena-mena, tidak beradab dan lain-lain. Namun disini dipakai istilah mengabdi, menghamba dengan maksud agar konotasi-nya positif. Dan memang sebenarnyalah bahwa menjadi hamba Tuhan justru mendapatkan anugerah yang tidak terperi. Itu janji Tuhan dan “innaka laa tukhliful mii’aad” (DIA tidak pernah melanggar janji).

Trus gimana caranya mengabdi ‘abis-abisan’ kepada Allah?

Ada caranya, ada manualnya, ada prototype-nya. Itulah Al-Qur’an, Hadist dan tidak tanduk Rasulullah. Ya Cuma tiga itu aja. No more no less. Simple? Memang, tapi bukan hal yang dimudah-mudahkan

Satu hal tambahan adalah bahwa kita ternyata bukan satu-satunya yang bertugas mengabdi kepada Tuhan.

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (QS. Ar-Ra’d : 15)

Mengapa dibanggakan?

Ada pertanyaan yang menarik tadi, kenapa setelah mencipta manusia, ada acara malaikat & jin diminta sujud?

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah : 34)

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang”, mereka menjawab:”Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami(bersujud kepada-Nya)?”, dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman). (QS. Al-Furqaan : 60)

Saya sendiri ngga’ tahu mengapa manusia dibanggakan oleh Tuhan. Mungkin karena ada mengandung tiupan ruh-Nya?

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr : 29)

‘Ruh’ yang dimaksud, diterjemahkan oleh sebagian orang sebagai ‘percikan dari Asma’ul Husna’. Terserah apakah anda percaya atau tidak. Tapi satu hal jelas, bahwa Tuhan membanggakan ciptaan-Nya yang bernama manusia ini sehingga perlu bagi-Nya agar mereka yang lain melakukan penghormatan.

Jika anda, bayangkan sebagai murid di seluruh sekolah, dibanggakan di depan oleh pa’ Kepala sekolah, bagaimana perasaan anda? Bangga bukan? Andai anda sebagai karyawan dibanggakan di depan seluruh karyawan oleh sang pemilik perusahaan, apa perasaan anda? Bangga bukan?

Lalu setelah dibanggakan, kira-kira apa yang akan anda lakukan? Yang paling umum adalah : berusaha mewujudkan itu, atau secara gampang, ingin membuat pa’ Kepsek atau pa’ pemilik tadi terus bangga terhadap kita. Do I make my point clear?


Salam,

Penulis

Shalatku, bagaimana shalatmu?

Ini lebih sekedar interospeksi diri sendiri.

Shalatku ternyata jauh dari “beres”.Sungguh naif.

Satu sisi aku pingin dan merasa “pantes” masuk surga. Bukankah aku udah shalat, setiap jumat masukin duit di kencleng mesjid. Setiap malem jumat ngaji yasin. Lagipula, bukan aku yg kena musibah tsunami dulu, yang kena musibah gempa kemarin. Juga aku bukan korban lapindo, atau juga pas bukan penumpang Levina, Adam air maupun Garuda. Aku bahkan tidak terkena efek apapun dari Banjir Jakarta kemarin. Aku disayang Tuhan. Aku pantas masuk surga.

Betulkah aku pantas masuk surga?

Aku kemarin membaca, entah buku apa itu (aku lupa). Didalamnya jelas-jelas dikatakan :

  1. Shalat itu yg paling pertama dicek. Jika shalatnya benar, maka baru yg lain dicek (setelahnya diputuskan masuk surga atau neraka)
  2. Ada orang (entah sufi atau bukan, tapi bukan itu masalahnya). Ia setiap wudhu selalu gemetar. Ketika ditanya, maka jawabnya : “tahukah kamu, kepada siapa aku akan menghadap?”
  3. Sampai dititik ketika seseorang merasakan suara azan itu bagaikan sangkakala sang malaikat sebagai salah satu tanda datangnya kiamat
  4. Ada 3 golongan : Golongan pertama berseri seperti matahari, yaitu orang yang ketika azan berbunyi dia sudah didalam masjid. Golongan kedua berseri bagai rembulan nan purnama, yaitu orang yang langsung wudhu ketika azan dikumandangkan. Golongan ketiga berseri (aku lupa seperti apa dan itu tidak penting), yaitu orang yang bergegas menuju azan yang dikumandangkan

Maka, jawabannya adalah : aku belum pantas masuk surga. Padahal aku sangat berharap masuk surga (karena pilihan satunya adalah neraka dan tidak ada pilihan lain yang berupa “nilai tengah”).

Lihat point nomer satu : Shalatku belum benar. Aku baru sadar ada perbedaan mendasar mengapa ketika ruku membaca “rabbiyal adziim” dan ketika sujud membaca “rabbiyal ‘a’laa”.Ternyata “adzim” itu tidak cukup berarti besar, agung. Lebih bagus jika diartikan “spektakuler” (menurutku spektakuler itu lebih dari sekedar luar biasa). Itu pernyataan bahwa aku ketika ruku’ mengaku bahwa Tuhan memang adzim. Dan ketika itu mestinya aku bayangkan aku ngga’ bakal ruku’ kepada manusia, siapapun dia…

Lalu “a’laa” berarti tinggi. Entah kata apa yang bisa mewakilinya. Tuhan nan tinggi tak terjangkau bahkan dengan akal yang paling “tinggi” sekalipun. Maka a’laa lebih benar dilakukan dengan / sambil sujud. Pengakuan kepala yang direndahkan serendah-rendahnya kepada yang tertinggi setinggi-tingginya.Shalatku belum benar. Aku belum tepat waktu. Jika detik ini aku ditelepon boss besar supaya menghadap sekarang karena ada urusan penting yang ingin dibicarakan, aku pastilah serta merta datang. Aku toh ngga’ mau dipecat begitu saja, atau paling tidak ini khan yang memanggil boss (boss besar lho).

Tapi untuk shalat zuhur, aku dipanggil oleh Tuhan, bayangkan.. oleh TUHAN, dan aku baru bergerak setelah meeting selesai atau pas jam dua siang. Sungguh tidak benar. Shalatnya juga sendirian, tidak dimesjid dan apalagi “tuma’ninah”.

Masalahnya adalah : Gimana agar aku bisa di titik mampu merasakan suara azan bagaikan tiupan sangkakala sang malaikat sehingga aku begitu tergopoh-gopoh untuk melaksanakan-nya.

Ya Allah, bimbinglah kami menuju jalan yang namanya shirath mustaqim. Apa itu jalan shirath? Yaitu :

  1. Jalan yang penuh nikmat didalamnya
  2. Bukan yang dimurkai Allah
  3. Bukan yang sesat

Ketiga kriteria itu yang dipenuhi. Amieenn..   

Salam,

Penulis

Al-Fatihah yang Luar Biasa

Surah Al-Fatihah itu dinobatkan sebagai Ummul Kitab atau induk kitab.

Ia merupakan surah pertama dalam susunan Al-Qur’an. Setiap rakaat dalam shalat surah ini wajib dibaca, tidak peduli berapapun jumlah rakaat-nya. Ia merupakan surah – yang sangat boleh jadi – paling sering dibaca. Ada juga yang berpendapat surah ini sebagai intisari atau resume atau rangkuman seluruh isi Al- Quran.
Pertanyaannya adalah : Apanya yang luar biasa? Apa yang membuat Al-Fatihah ini begitu luar biasa?
Jujur tadinya saya juga hanya mengetahui sebatas paragraf pertama tulisan diatas. Tapi makin direnungi ternyata makin terasa keluar biasaan-nya. Ini diantara yang berhasil saya dapatkan :

Isi Surah dan terjemahan bebas

Pertama, mari kita lihat surah Al-Fatihah. Jangan-jangan ada juga yang belum tahu bahwa kalimat “Bismillaahi rrahmaanir rahiim” adalah merupakan ayat ke-1 surah ini. Juga bahwa kalimat “amiin” yang kita seru rame-rame saat shalat jamaah, itu bukanlah bagian dari surah Al-Fatihah

1. Bismillahirrahmaanirrahiim
2. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin
3. Ar Rahmaani rrahiim
4. Maaliki yaumid diin
5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
6. Ihdinas shiraatal mustaqiim
7. Siraathal ladzii na’an ‘amta ‘alaihim, ghairil maghduu bi’alaihim, walad dhaalliin

Artinya (ini sekedar terjemahan bebas saya) :
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Rahman (Pengasih) dan Maha Rahiim (Penyayang)
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta
3. Yang Maha Rahman (Pengasih) dan Maha Rahiim (Penyayang)
4. Raja/Penguasa di hari “ad-diin’ (pembalasan/kiamat)
5. Hanya padamu kami menyembah, dan hanya padamu kami memohon pertolongan
6. Tunjukkan kami “Shiraatal Mustaqiim” (Jalan Lurus)
7. Jalan yang penuh nikmat kepada mereka, bukan yang Engkau murkai pada mereka, bukan juga yang sesat

Itulah dia surah Al-Fatihah. Apanya yang luar biasa? Banyak !

sungguh beruntung saya ketika dipermudah mendapatkan pengetahuan atas hal ini.

Susunan surah
Coba lihat susunan surah ini. Allah mengajarkan kita bagaimana cara “berdoa” (baca : memohon) dengan benar.
Dari total 7 ayat, 5 ayat pertama seluruhnya berisi pujian kepada Allah (5/7 x 100 = 70%). Seolah Allah mengajarkan/memberitahukan, bila seseorang ingin memohon, seyogyanya 70% itu diawali dengan memuji. Itulah patron-nya. Pantaslah jika selesai shalat mestinya tidak langsung angkat tangan dan berdoa. Setidaknya baca dulu puji-pujian, baca 33x Subhanallah, 33x Alhamdulillah, 33x Allahu Akbar. Baru setelah merasa cukup (70% minimal), silahkan mengangkat tangan dan memohon.

Adapun tahapan secara rinci juga diperlihatkan jelas didalam surah ini.
Pertama sekali adalah : fokus (niat, kejelasan). Dalam hal ini direpresentasikan dalam kalimat basmalah
Kedua : Memuji, bersyukur (alhamdulillah)
Ketiga : Tegaskan pujian anda (ini akan dibahas mengapa ayat ke-3 ini sama dengan ayat ke-1)
Keempat : Akui kelebihan-Nya, kehebatan-Nya
Kelima : Akui kelemahan diri, tunjukkan tingginya tingkat kebutuhan hingga perlu memohon (reasoning)

Barulah kemudian memohon pada-Nya

Ayat ke-1 dan ke-3 Surah Al-Fatihah
Pertama bahwa kalimat basmallah yaitu “Bismillaahi rrahmaani rrahiim” itu adalah termasuk ayat ke-1 dalam surah Al-Fatihah. Sementara ayat keduanya adalah “Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin”. Baru dilanjutkan ayat ke-3 : “Arrahmaani rrahiim”.
Pada surah-surah yang lain, kalimat “bismillahirrahmaani rrahiim” adalah merupakan kalimat pembuka (bukan bagian dari surah).
Sekarang perhatikan artinya. “Bismillaahi rrahmaani rrahiim”. Arti sederhana-nya “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang. Atau saya kadang memberi terjemahan bebas : Dengan menyebut Nama Allah yang begitu welas asih.
Intinya adalah bahwa Allah itu pemurah. Berbelas kasih, begitu baik, penyayang, welas asih.
Sekarang perhatikan ayat ke-3 (ayat kedua tidak dibahas disini) : Arrahmaani rrahiim. Artinya sama persis : Maha Pengasih dan Maha penyayang. Welas asih.
Kenapa diulang? Pasti bukan untuk memperbanyak jumlah ayat. Pasti bukan karena tidak ada bahasan lain. Pasti ada sesuatu (yang menarik dan luar biasa).
Mari kita berpaling sejenak ke cerita penciptaan manusia. Ketika itu Allah berfirman pada malaikat bahwa akan diciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan kemudian, ketika tercipta Adam AS, Allah berfirman agar semua bersujud (bukan dalam konteks menyembah) kepada Adam. Kecuali Iblis. Kenapa ? Karena ia merasa lebih baik dari adam (iblis dari api, adam dari tanah).

Merasa lebih dari yang lain disebut sombong atau angkuh. Itulah dosa pertama di jagad raya dan murka Allah yang pertama diketahui.
Perhatikan bahwa dosa terbesar adalah menyekutukan Allah. Iblis tidak menyekutukan Allah. Iblis “sekedar” sombong. Ia hanya merasa lebih baik karena diciptakan dari api dibandingkan Adam AS yang diciptakan dari tanah. Sama halnya kita merasa lebih baik karena memiliki jabatan daripada yang jabatannya dibawah kita. Sombong yang sama ketika kita merasa lebih baik karena lebih pintar, lebih cantik, lebih ganteng, lebih kaya, dll sementara yang lain kurang pintar, kurang ganteng, dll.
Saat Iblis menolak perintah Allah, maka Allah langsung mengharamkan surga baginya dan melaknat masuk ke neraka. Itulah murka Allah.
Tidak berpuasa tanpa alasan padahal sudah jelas diperintah, maka secara logika sederhana itu sudah cukup bagi Allah untuk mengharamkan surga dan melaknat dengan neraka. Sedekah, shalat dan semua perintah lain akan seperti itu juga konsekuensinya.
Tapi satu hal harus digaris bawahi, bahwa kasih sayang Allah melampaui murka-Nya. Itulah maka perlu diyakini bahwa Allah itu Ar Rahmaan Ar Rahiim.
Allah begitu Maha kasih, sehingga boleh kita berharap kasih dan mesranya. Begitu Maha Penyayang sehingga boleh kita berharap disayang oleh-Nya.
Maka hemat saya, perhatikan betul ketika kita membaca ayat ke-1 dan ke-3 surah Al-Fatihah. Pemahaman dihati saat membaca ayat ke-1 akan dimantapkan oleh pemahaman atas ayat ke-3.

Maaliki yaumiddiin
Ayat ke-4 adalah : Maaliki yaumid diin yang berarti Penguasa hari pembalasan.
Sekarang perhatikan kata yaum ad-diin (hari – agama). Mengapa harus memakai ad-diin (agama)? Mengapa bukan yaumul hisab, atau yaumul qiyamah ? Ini yang jelas telah disesuaikan dengan konteks kalimatnya. Yang menjadi inti adalah bahwa yaum ad-diin lebih menegaskan bahwa hari kiamat merupakan hari dimana esensi agama menjadi begitu jelas sehingga tidak ada pertanyaan dan keraguan atas agama.
Jadi pastikan, ketika membaca ayat ini, kita tidak hanya berurusan dengan hari kiamat saja, tapi “Yaum Ad-Diin” yang bersifat menyeluruh atas ‘kemarin’, ‘sedang’, dan ‘akan’. Dan DIA adalah pemiliknya, penguasanya…

Shirath Al-Mustaqiim
Shirath Al-Mustaqim senantiasa diartikan sebagai : Jalan yang lurus. Tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa jalan yang dimaksud adalah bagaikan jalan tol.
Perlu diperhatikan bahwa Al-Fatihah adalah ummul kitab atau induk kitab atau ummul quran. Artinya adalah semua ayat Al-Fatihah merupakan intisari / ringkasan / resume Al-Quran secara keseluruhan. Maka, dalam kaitan dengan ini, Sirath Al-Mustaqim tidak lain dan tidak bukan ternyata adalah merupakan target point.
Bila hidup, bayi, remaja, tua, mati kesemuanya merupakan checkpoint, maka shirath al-Mustaqim itulah target point. Destination (final point) adalah Surga dan keridhaan Allah.
Sebagai target utama kehidupan, shirath mustaqim (jalan lurus) ini layak diperjuangkan. Apapun cara untuk bisa melewatinya dengan sempurna. Tapi seperti apa ciri dan kriteria shirath al-mustaqim ini ? Dijawab oleh ayat-ayat terakhir dengan sempurna yaitu :
1. Jalan yang penuh nikmat didalamnya
2. Jalan yang tidak dimurkai Allah SWT
3. Jalan yang tidak sesat

Seluruh kriteria terpenuhi, maka itulah sirath al-mustaqim.
Kata “Jalan” disini menurut hemat saya dapat berarti cara Dalam bahasa inggris disebut “way” (bukan “road”). “The way of life” atau “where’s the will there’s the way” (dimana ada kemauan, disitu ada jalan) dalah pendekatan atas kata “jalan” yang bisa difahami sebagai cara.
Maka ini maksudnya dengan cara apa kita menempuh kehidupan ini, jalan mana yang kita gunakan dalam mengarungi hidup ini. It’s all about the way, it’s all about the heart.
Apa tujuan manusia hidup di dunia? Menjadi kaya? Menjadi sukses? Menjadi bahagia? Semua jawaban berujung di satu pintu yang bernama sirath al-mustaqim. Semua manusia menginginkan hidup yang penuh kenikmatan. Semua manusia tidak mau dimurkai Allah dan tentu tidak ingin tersesat. Maka bagi mereka yang sudah menikmati hidup (karena kaya, berpangkat, dll) perlu sadar bahwa 2 kriteria belum tercapai. Dan itu berbahaya.
Bila jalan itu nikmat, maka itulah shirat al-mustaqim. Minuman keras juga nikmat, tapi itu dimurkai Allah, maka bukan shirath al-mustaqim. Bisa juga sudah nikmat dan juga sudah tidak dimurkai Allah, tapi ternyata sesat. Maka itu jelas juga bukan sirath al-mustaqim.

Salam,
Penulis

Keistimewaan Shalat

SHALATKU IBADATKU

MENGAPA SHALAT ITU ISTIMEWA

Shalat itu istimewa. Bahkan menurut hemat saya adalah yang paling istimewa diantara semua ibadah. Buktinya diantaranya adalah :

  • Yang pertama dihisab (dicek / diperhitungkan) pada hari kiamat adalah Shalat. Begitu menurut sebuah hadis shahih
  • Perintah Shalat diberikan langsung dari Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW, bahkan tanpa perantara malaikat Jibril. Ini terjadi saat Isra’ Mi’raj nabi Muhammad SAW.
  • Shalat tidak tergantikan. Ini perlu digaris bawahi sebagai sebuah ciri ke-khususan Shalat. Bandingkan dengan ibadah lain. Puasa bisa diganti bila berhalangan dengan alasan yang sesuai. Haji demikian juga, bahkan bisa dipindahkan ke orang lain untuk pelaksanaannya. Tapi hal ini tidak berlaku dalam Shalat. Shalat zuhur tidak dapat dikerjakan saat subuh dan juga tidak dapat ditunda hingga maghrib. Orang sakitpun wajib shalat bahkan jika hanya matanya saja yang sanggup dilakukan. Qasar dan jamak hanya berlaku dengan alasan khusus dan tidak bagi semua shalat (shalat subuh tidak memiliki jamak maupun qasar)
  • Perintah Allah adalah untuk “mendirikan” bukan “mengerjakan”.

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS.An-Nisaa’ 103)

Apa beda “mendirikan” dengan “mengerjakan” ?. Mendirikan dapat berarti merubah posisi dari semula tidak berdiri menjadi berdiri (misalnya jika anda mendirikan kursi yang rebah). Dapat juga berarti menjadikan sesuatu yang semula belum jadi (atau belum ada) menjadi berdiri tegak dan kokoh (misalnya mendirikan bangunan). Sedangkan mengerjakan artinya sama dengan melakukan sesuatu (baik tuntas maupun tidak). Si-A mengerjakan PR, maka ada tiga kemungkinan : 1. ia mengerjakan tapi tidak tuntas.

2. Ia mengerjakan dan tuntas, tapi belum tentu benar semua (bisa jadi karena si-A pemalas atau bodoh tapi terpaksa mengerjakan PR).

3 Ia mengerjakan, tuntas dan benar semua (ini berarti sama dengan mendirikan PR)

Dengan demikian dalam konteks bangunan, mendirikan bangunan berarti menjamin bangunan tersebut akan berdiri dengan baik (baca : kokoh, kuat dan bagus). Mengerjakan bangunan belum tentu sampai selesai, dan juga belum tentu seluruh bangunan. Adapun mendirikan tugas (misalnya PR) adalah melakukannya dengan sepenuh hati dan secermat mungkin sehingga kecil kemungkinan terjadi kesalahan.Umumnya kalimat dirikanlah shalat dibarengi dengan tunaikanlah zakat (apa tunaikan dengan bayarkan?). mengapa justru zakat, bukan puasa, atau ibadah lainnya, rasanya perlu ditelaah namun bukan disini tempatnya.

  • Shalat adalah ibadah yang sangat dekat dengan Allah. Beberapa pakar menyatakan bahwa shalat adalah mi’rajnya orang muslim. Dan ada yang menyatakan bahwa posisi rukuk merupakan posisi terdekat
  • Perhatikan firman berikut :
    • Kecelakaan bagi orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dari shalatnya (QS.Al-Maa’uun : 4 & 5).
    • Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah : 183)

Ritual shalat begitu spesial bagi Allah sehingga ada murka-Nya disana. Orang yang shalat justru diancam (baca : celaka) jika shalat itu dilakukan tidak dengan benar adanya. Bagaimana shalat yang benar (supaya tidak celaka) ? Silahkan pelajari di banyak buku yang lebih lengkap mengenai hal ini. Namun intinya cukup satu : Jika shalat yang dilakukan itu benar adanya, maka sang pelaku shalat dan lingkungan sekitarnya akan merasakan pengaruhnya, karena shalat itu mencegah perbuatan keji (korupsi, menganiaya, merampas, jahat, kejam, dll) dan mungkar (egois, sombong, pelit, sok tahu, dll)

Mengapa Allahu akbar?

Setelah niat, maka kita takbir, “Allahu Akbar”. Ketika ruku juga “Allahu Akbar”, begitu juga sujud. Dan itu dilakukan hampir disetiap perubahan gerak (kecuali ketika dari ruku ke berdiri)Pertanyaannya, kenapa “Allahu Akbar” ? bukan “Subhanallah” atau Alhamdulillah” atau “Laa ilaaha illallaah” atau kalimat lainnya. Kenapa harus “Allahu Akbar” ?Allahu Akbar bagi saya diartikan tidak lagi sebagai Allah Maha Besar, tetapi “Allah terlalu besar”, begitu besar dalam semua hal – tanpa kecuali – sehingga hanya itu yang bisa dilakukan, yaitu mengucapkan “Allahu Akbar”. Kenapa berulangkali? Kenapa nyaris ditiap perubahan gerak ? Agar kita sadar sesadar-sadarnya bahwa Tuhan itu, Allah itu, begitu maha besar, setiap saat, setiap perubahan gerak (dalam shalat), setiap tarikan nafas (dalam hidup). Agar kita semua yakin dan makin merasa kerdil ketika mengucapkannya. Maka jadilah kita bergetar karena merasa Allah begitu terlalu hebat dan besar (Maha besar), bergetar karena mengakui begitu kerdil, kecil diri ini, bergetar karena begitu agung nama itu. “Allahu Akbar…”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS.Al-Anfaal 2)(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (QS.Al-Hajj 35)Maka barangsiapa yang shalat-nya belum sampai merasa gemetar, maka ia belum sampai dipengertian shalat yang sesungguhnya (perhatikan, berapa kali nama ALLAH disebut dalam satu rakaat?). Jadi wajar saja jika hingga berumur renta dan terus melakukan shalat tapi tindakan, tabiat, perilaku atau hasil kerja-nya sama sekali tidak memiliki cerminan dari shalat-nya. Itulah yang disebut shalat tanpa jiwa, itulah definisi seungguhnya shalat yang celaka. Tinggal kembali pada diri dan hati sendiri, sekeras apa hati ini mau menyadari dan menerima hal itu. 

Beberapa Kalimat dalam Takbiratul Ihram

Yang pertama adalah kalimat : Inni wajjahtu wajhiya fathoros samaawati wal ardho haniifan muslimaa wamaa ana minal musyrikiin (terjemah bebas saya : Inilah wajahku menghadap kehadirat-Mu, wahai penguasa Langit dan Bumi, sepenuh hatiku sebagai muslim yang ‘hanif’ dan aku bukan dari golongan musrik).

Lalu kalimat : Inna shalaati, wanusuki, wamaa yaaya, wa mamaati, lillahi rabbil ‘aalamiin (terjemah bebas saya : Sesungguhnya shalatku, ibadah-ku, hidup dan matiku, adalah bagi Allah, Tuhan semesta alam).Betulkah itu? Betulkah kita seperti yang kita ucapkan? Atau sebenarnya kita sedang munafik kepada Tuhan? (na’udzubillahi mindzaalik). Jika hidup mati hanya untuk Allah, jika shalat dan ibadat adalah “lillaahi ta’ala” bagaimana bisa shalat itu dilakukan lewat dari waktu? Bukankah masuknya zuhur itu adalah tepat pada saat mendengar azan zuhur? Mengapa baru jam satu lewat, atau pukul setengah dua baru mengerjakan shalat? Itukah muslim yang ‘hanif’? Silahkan hati nurani menjawab sendiri.Muslim yang ‘hanif’ dengan sederhana diterjemahkan sebagai muslim yang mengabdi. Hidup mati, shalat ibadah hanya untuk Allah hanyalah perkataan lain (menurut saya) bahwa orang itu jelas-jelas menyatakan pengabdian total-nya. Orang yang mengabdi secara total tentulah langsung mengerjakan apa yang diperintahkan. Ambil contoh sederhana. Saya sebagai majikan punya seorang pembantu. Lalu saya berkata, “Mbok, tolong ambilkan sandal saya”. Tentulah yang diharapkan adalah bahwa si pembantu (yang mengabdi “secara total” tadi) segera mengambilkan sandal saya. Bagaimana perasaan sang Majikan jika sandal-nya diambilkan 2 jam kemudian atau bahkan tidak pernah diambilkan?Lagi-lagi, maka seyogyanya menjadi amat wajarlah ketika mengucap kalimat tersebut hati menjadi bergetar. Ketika dengan berani kita menyatakan langsung kepada Tuhan pemilik alam, mengatakan langsung secara berhadapan kepada yang menciptakan kita bahwa kita muslim yang ‘hanif’, bahwa kita ‘pengabdi total’ yang tulus. Bahwa kita tidak sedang terang-terangan berbohong kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan berbohong kepada diri sendiri sekaligus ketika mengucapkan itu.Maka bagaimana mungkin kita mengucapkan kalimat itu dengan begitu serentak, begitu cepat. Itu yang disebut (menurut istilah saya) shalat tanpa jiwa.Hingga sejauh ini pembahasan kita, maka sampailah saya pada kesimpulan sementara : Seyogyanya kita melakukan shalat dengan tuma’ninah dan khusyu’. Semestinya tidak pantas kita mengucap kalimat-kalimat seperti tadi tanpa menghadirkan hati. Bagaimana bisa seorang mengharap menjadi kesayangan Allah, atau sekedar diterima shalat-nya jika ia mengucapkan “inni wajjahtu…dst” tapi fikiran dan hatinya sibuk di tempat lain. Ini wajahku wahai Tuhan yang welas asih, kutundukkan dihadapan-Mu dengan hati yang berdebar, adakah Dikau berkenan atas diri kecil, atas diri kerdil ini.

Beranikah kau (saya dan anda) berhadapan langsung dengan sang pemimpin Kiamat, sang empunya siksa, sang Maha welas asih, sang “Allahu Akbar” dengan sesuka hati. Ngupil ketika shalat, garuk-garuk pantat, mengantuk, batuk-batuk atau apapun hal remeh-temeh lain Beranikah? Tidak takutkah dengan-Nya? Belum cukup-kah firman yang berkata,4.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

6. orang-orang yang berbuat riya (QS.Al-Maa’uun 4-6)

Fakta membuktikan betapa mereka shalat dengan rajin, hingga masa renta namun tidak beroleh apa-apa (atau mungkin bahkan celaka). Maka seyogyanya berhati-hatilah semua yang mengaku muslim ketika shalat, adakah shalat-nya hanya mendatangkan ‘celaka’ ataukah ‘maghfirah’ dan kecintaan dari-Nya. Wallahu ‘alam. 

Ayat ke-1 dan ke-3 Surah Al-Fatihah

Setelah takbiratul ihram, maka membaca surah Al-Fatihah. Apa yang menarik?Pertama bahwa kalimat basmallah yaitu “Bismillaahi rrahmaani rrahiim” itu adalah termasuk ayat ke-1 dalam surah Al-Fatihah. Sementara ayat keduanya adalah “Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin”. Baru dilanjutkan ayat ke-3 : “Arrahmaani rrahiim”.Pada surah-surah yang lain, kalimat “bismillahirrahmaani rrahiim” adalah merupakan kalimat pembuka (bukan bagian dari surah).Sekarang perhatikan artinya. “Bismillaahi rrahmaani rrahiim”. Arti sederhana-nya “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang. Atau saya kadang memberi terjemahan bebas : Dengan menyebut Nama Allah yang begitu welas asih.

Intinya adalah bahwa Allah itu pemurah. Berbelas kasih, begitu baik, penyayang, welas asih.Sekarang perhatikan ayat ke-3 (ayat kedua tidak dibahas disini) : Arrahmaani rrahiim. Artinya sama persis : Maha Pengasih dan Maha penyayang. Welas asih.Kenapa diulang? Pasti bukan untuk memperbanyak jumlah ayat. Pasti bukan karena tidak ada bahasan lain. Pasti ada sesuatu (yang menarik).Mari kita berpaling sejenak ke cerita penciptaan manusia. Ketika itu Allah berfirman pada malaikat bahwa akan diciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan kemudian, ketika tercipta Adam AS, Allah berfirman agar semua bersujud (bukan dalam konteks menyembah) kepada Adam. Kecuali Iblis. Kenapa ? Karena ia merasa lebih baik dari adam (iblis dari api, adam dari tanah). Merasa lebih dari yang lain disebut sombong atau angkuh. Itulah dosa pertama di jagad raya dan murka Allah yang pertama diketahui. Perhatikan bahwa dosa terbesar adalah menyekutukan Allah. Iblis tidak menyekutukan Allah. Iblis “sekedar” sombong. Ia hanya merasa lebih baik karena diciptakan dari api dibandingkan Adam AS yang diciptakan dari tanah. Sama halnya kita merasa lebih baik karena memiliki jabatan daripada yang jabatannya dibawah kita. Sombong yang sama ketika kita merasa lebih baik karena lebih pintar, lebih cantik, lebih ganteng, lebih kaya, dll sementara yang lain kurang pintar, kurang ganteng, dll.Saat Iblis menolak perintah Allah, maka Allah langsung mengharamkan surga baginya dan melaknat masuk ke neraka. Itulah murka Allah.Tidak berpuasa tanpa alasan padahal sudah jelas diperintah, maka secara logika sederhana itu sudah cukup bagi Allah untuk mengharamkan surga dan melaknat dengan neraka. Sedekah, shalat dan semua perintah lain akan seperti itu juga konsekuensinya. Tapi satu hal harus digaris bawahi, bahwa kasih sayang Allah melampaui murka-Nya. Itulah maka perlu diyakini bahwa Allah itu Ar Rahmaan Ar Rahiim.Allah begitu Maha kasih, sehingga boleh kita berharap kasih dan mesranya. Begitu Maha Penyayang sehingga boleh kita berharap disayang oleh-Nya.Maka hemat saya, perhatikan betul ketika kita membaca ayat ke-1 dan ke-3 surah Al-Fatihah. Pemahaman dihati saat membaca ayat ke-1 akan dimantapkan oleh pemahaman atas ayat ke-3. 

Maaliki yaumiddiin

Ayat ke-4 adalah : Maaliki yaumid diin yang berarti Penguasa hari pembalasan.Sekarang perhatikan kata yaum ad-diin (hari agama). Mengapa harus memakai ad-diin (agama)? Mengapa bukan yaumul hisab, atau yaumul qiyamah ? Ini yang jelas telah disesuaikan dengan konteks kalimatnya. Yang menjadi inti adalah bahwa yaum ad-diin lebih menegaskan bahwa hari kiamat merupakan hari dimana esensi agama menjadi begitu jelas sehingga tidak ada pertanyaan dan keraguan atas agama. 

Tentang Shirath Al-Mustaqiim

Shirath Al-Mustaqim senantiasa diartikan sebagai : Jalan yang lurus. Tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa jalan yang dimaksud adalah bagaikan jalan tol.

Perlu diperhatikan bahwa Al-Fatihah adalah ummul kitab atau induk kitab atau ummul quran. Artinya adalah semua ayat Al-Fatihah merupakan intisari / ringkasan / resume Al-Quran secara keseluruhan. Maka, dalam kaitan dengan ini, Sirath Al-Mustaqim tidak lain dan tidak bukan ternyata adalah merupakan target point. Bila hidup, bayi, remaja, tua, mati kesemuanya merupakan checkpoint, maka shirath al-Mustaqim itulah target point. Destination (final point) adalah Surga dan keridhaan Allah.Sebagai target utama kehidupan, shirath mustaqim (jalan lurus) ini layak diperjuangkan. Apapun cara untuk bisa melewatinya dengan sempurna. Tapi seperti apa ciri dan kriteria shirath al-mustaqim ini ? Dijawab oleh ayat-ayat terakhir dengan sempurna yaitu :

  1. Jalan yang penuh nikmat didalamnya
  2. Jalan yang tidak dimurkai Allah SWT
  3. Jalan yang tidak sesat

 

Seluruh kriteria terpenuhi, maka itulah sirath al-mustaqim.Kata “Jalan” disini menurut hemat saya dapat berarti cara  Dalam bahasa inggris disebut “way” (bukan “road”). “The way of life” atau “where’s the will there’s the way” (dimana ada kemauan, disitu ada jalan) dalah pendekatan atas kata “jalan” yang bisa difahami sebagai cara. Maka ini maksudnya dengan cara apa kita menempuh kehidupan ini, jalan mana yang kita gunakan dalam mengarungi hidup ini. It’s all about the way, it’s all about the heart.Apa tujuan manusia hidup di dunia? Menjadi kaya? Menjadi sukses? Menjadi bahagia? Semua jawaban berujung di satu pintu yang bernama sirath al-mustaqim. Semua manusia menginginkan hidup yang penuh kenikmatan. Semua manusia tidak mau dimurkai Allah dan tentu tidak ingin tersesat. Maka bagi mereka yang sudah menikmati hidup (karena kaya, berpangkat, dll) perlu sadar bahwa 2 kriteria belum tercapai. Dan itu berbahaya.Bila jalan itu nikmat, maka itulah shirat al-mustaqim. Minuman keras juga nikmat, tapi itu dimurkai Allah, maka bukan shirath al-mustaqim. Bisa juga sudah nikmat dan juga sudah tidak dimurkai Allah, tapi ternyata sesat. Maka itu jelas juga bukan sirath al-mustaqim.

Tentang Surah Al-Ikhlas

Judul surah ini adalah Al-Ikhlas. Ikhlas berarti rela, ridho. Namun isi surah lebih merupakan penekanan atas ketauhidan Allah SWT.
Ada yang menyatakan bahwa membaca surah ini sebanyak 3 kali dengan tartil, maka ia sama dengan membaca seluruh Al-Quran. 

Adziim dan ‘A’laa

Ketika rukuk bacaannya adalah : “Subhaana Rabbiyal adziimi wa bihamdih”. Ketika sujud membaca : “Subhaana Rabbiyal a’laa wa bihamdih”. Beda tipis saja, tapi mengapa mesti diributkan?

Justru karena ini sangat esensial (paling tidak bagi saya sendiri).Mari kita lihat. Adziim berarti besar, sangat besar, super besar atau bisa juga dikatakan begitu hebat. Contoh kalimat adalah : Wallaahu dzuu fadhlin ‘adziim (QS.Al-Imran 174) artinya : Dan Allah mempunyai karunia yang begitu besar  

 

 Salam,

Penulis