Bismilaahi rrahmaani rrahiim,
Berikut petikan ayat dari surah ‘Abasa :
- Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua),
- pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
- dari ibu dan bapaknya,
- dari istri dan anak-anaknya.
- Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
(QS ‘Abasa : 33-37)
Pembaca budiman,
Sebelumnya saya mohon maaf jika saya salah dalam menerjemahkan ayat Al-Quran. Sungguh saya memang bukan ahli dalam penerjemahan semacam ini. Maka masukan positif apapun dari pembaca tentulah sangat berharga bagi saya.
Yang saya soroti adalah ayat 36 surah ‘Abasa. Kata “shoohibatihi” menjadi akar dari kata sahabat dalam bahasa Indonesia. Maka saya menjadi takjub ketika sang isteri dipermaklumkan sebagai sahabat sang suami. Hasil pencarian saya yang bukan ahli ini tidak mendapati lagi kata “shohib” menjadi pengganti isteri/suami pada surah yang lainnya. Namun satu penggal ayat itu telah meyakini saya bahwa memang isteri adalah sahabat sang suami. Sahabat dalam arti yang sesungguhnya..
Walhasil, sayapun merenung. Berpuluh tahun memiliki isteri, maka memang dialah sahabat sejati. Orang yang tidak sekedar mengerti memahami karakter saya, tapi mau menerima diri ini menjadi sahabat dalam kehidupan ini. Orang yang bersedia share dalam kesenangan pun kesedihan. Tempat mengadu, bercerita, diskusi dan bahkan menjalani hidup bersama.
Makna atau juga definisi tentang sahabat, biarlah didetailkan pada naskah buku artikel di tempat-tempat lain. Tapi tentulah ada kesepahaman bahwa sahabat adalah lebih dari sekedar teman. Seorang sahabat sudah pasti adalah teman tapi belum tentu sebaliknya.
Seorang suami yang tidak bersahabat kepada isteri maka – jika mendasarkan pada ayat tadi – belumlah menjadi suami yang sebenarnya. Demikian juga istri yang semestinya menjadi sahabat bagi suami.
Memiliki sahabat dengan tidak memiliki sahabat tentulah berbeda sangat jauh. Maka betapa rugi mereka yang menyia-nyiakan sahabat yang dimilikinya.
Salam,
Penulis
SUARA HATI 